Essai

KH Sholeh Darat, RA Kartini dan Komitmen untuk Mencerdaskan Bangsa

Jumat (19 April 2024 bertepatan 10 Syawal 1445 H) lalu para ulama, tokoh masyarakat dan kaum santri di Semarang menggelar acara haul KH Sholeh Darat. Bulan April, atau tepatnya tanggal 21 juga mengingatkan kita pada RA Kartini, atas jasanya dalam memperjuangkan emansipasi kaum perempuan Indonesia.

Nama RA Kartini sudah mashur sebagai simbol perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan dalam akses pendidikan. Sedangkan nama KH Sholeh Darat dan kontribusinya dalam mencerdaskan bangsa Indonesia baru dibicarakan sejak sekitar dua puluh tahun terakhir. Menyandingkan kedua tokoh ini dalam pembicaraan sangat menarik, karena keduanya memiliki hubungan dekat, yaitu sebagai guru dan murid.

Saya mulai mendengar nama Kiai Sholeh Darat pada tahun 1990-an, sebagai seorang ulama yang menulis kitab-kitab agama Islam. Kala itu saya melihat salah satu kitab koleksi orang tua saya, yang dibawa mengaji kepada seorang kiai mushala di kampung kami.

Kitab-kitab karya KH Sholeh Darat yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Para pembacanya, termasuk ayah saya, lazim menyebut kitab-kitab sejenis itu dengan sebutan kitab Arab pegon.

Tahun 2001 saya kuliah di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri) Walisongo Semarang. Saya menjadi mengerti bahwa KH Muhammad Shalih bin Umar Al-Samarani, atau yang mashur dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat adalah seorang ulama Nusantara dengan reputasi kesarjanaan yang cemerlang.

Muhammad Sholeh lahir di Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara pada tahun 1820 M atau 1235 H. Lahir di masa penjajahan, ayahnya bernama Kiai Umar merupakan seorang pejuang pembela bangsa dan negara dalam Perang Diponegoro, atau Perang Jawa (1825-1830 M). Mengetahui kondisi politik di Jawa sedang tidak aman, akhirnya Kiai Umar mengirimkan Muhammad Sholeh muda belajar ke Kota Mekah.

Masa belajar Muhammad Sholeh di Mekah bersamaan dengan Muhammad Nawawi (1813-1897 M) dari Banten dan Muhammad Kholil (1835-1925 M) dari Bangkalan, Madura. Di Mekah, Muhammad Sholeh berguru kepada Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Ahmad Nahrawi, Sulaiman Hasbullah Al-Makki, dan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Muhammad Sholeh tumbuh menjadi seorang yang alim (menguasai ilmu agama). Ia menjadi salah satu ulama Nusantara yang mendapat kepercayaan dari para ulama kesohor di Mekah untuk mengajar di kota suci itu.

Sebelum pergi belajar ke Mekah, Muhammad Sholeh belajar kepada Kiai Muhammad Syahid Waturoyo (Pati), KH Raden Muhammad Shaleh bin Asnawi (Kudus), KH Ishak Damaran (Semarang), KH Abu Abdillah (Semarang), KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi (Semarang), Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang), dan KH. Ahmad Alim Bulus Gebang (Purworejo).

Setelah berada di Mekah untuk beberapa lama, Kiai Muhammad Sholeh pulang kampung dan menetap di Darat, Semarang Barat. Nama Kampung Darat ini pula yang akhirnya melekat pada penyebutan namanya.

Menulis dalam Bahasa Masyarakat

Setelah menetap di Semarang, sekitar tahun 1870, Kiai Sholeh Darat aktif memberikan pengajian kepada masyarakat, mengajar para santri, mendirikan pesantren, serta menulis kitab-kitab keislaman. Sampai saat ini telah diketemukan belasan judul kitab yang bisa diidentifikasi sebagai karya KH Sholeh Darat.

Kitab-kitab karya KH Sholeh Darat adalah Majmu’at Syari’at al-Kafiyat lil Awam (fikih), Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali (kutipan-kutipan penting dari kitab Ihya’), Terjemahan Al-Hikam karya Ahmad ibnu Athaillah, Latha’ifut Thaharah (penjelasan shalat, puasa, keutamaan bulan Muharram, Rajab, dan Sya’ban), Manasik al-Haj (tata cara beribadah haji). Kitab Fashalatan (tuntunan shalat lima waktu), Sabilul ‘Abid terjemahan Jauharut Tauhid karya Ibrahim al-Laqqani, Minhajul Atkiya’ (tentang bertakwa pada Allah), Al-Mursyid al-Wajiz (ilmu al-Quran), Hadits al-Mi’raj, Syarh Maulidul Burdah, Faidhur Rahman (tafsir Quran), dan kitab Asnar al-Shalah.

Penulis tertarik untuk menganalisis tema pembahasan yang ditulis oleh KH Sholeh Darat, serta keputusannya untuk menulis dalam bahasa Jawa Pegon. Pertama, Kiai Sholeh Darat telah menempuh proses yang panjang dalam mempelajari ilmu agama Islam, kemudian menjadi seorang ulama dan pengajar di Mekah.

Artinya, reputasi KH Sholeh Darat sebagai ulama diakui oleh para ulama Mekah kala itu. Sangat mungkin karena mengingat masyarakat Jawa terjajah, Kiai Sholeh Darat bersedia mengajar masyarakat awam di kampung. Menurut saya, sikap ini merupakan komitmen seorang ulama untuk mencerdaskan masyarakatnya.

Kedua, Kiai Sholeh Darat menulis kitab-kitab agama Islam dalam bahasa Jawa Pegon. Keputusan ini mencerminkan pembelaan seorang ulama terhadap kebutuhan masyarakat bawah.

Sebagai seorang intelektual muslim, nama Kiai Sholeh Darat dikenal oleh publik luas. Kiprahnya di Mekah memungkinkan Kiai Sholeh Darat untuk berjejaring dengan sesama ulama dari berbagai negara. Dari sini, bisa saja Kiai Sholeh Darat memandang perlu untuk menulis kitab agama dalam bahasa Arab.

Kiai Sholeh Darat memilih berdialog dengan lingkungan sosialnya, melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Jawa. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pengajaran masyarakat muslim di Jawa.

Kiai Sholeh Darat dalam pengantar tafsir Faidhur Rahman menegaskan, pilihan untuk menulis dengan aksara pegon sebagai strategi untuk mengelabuhi penjajah. Pada waktu pemerintah Belanda melarang menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu atau Jawa.

Memang pemikiran Kiai Sholeh Darat hanya terekam dalam bahasa Jawa, dan diakses oleh komunitas yang terbatas. Tetapi pilihan ini memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap akses pendidikan di tengah penjajahan.

Ada satu riwayat bahwa KH Sholeh Darat menulis tafsir Faidhur Rahman atas permintaan Kartini dan menjadi hadiah pernikahan Kartini (Masrur, 2012: 33). Seperti pemikiran gurunya, Kiai Sholeh Darat, Kartini prihatin dengan kondisi masyarakatnya yang hanya diajarkan untuk membaca Al-Quran tanpa mengetahui kandungannya. Kegelisahan Kartini terekam dalam suratnya kepada E.H. Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899 (Istianah, 2018).

Ketiga, Kiai Sholeh Darat dengan warisan tradisi intelektualnya, juga pemikiran Kartini menjadi kritik bagi kaum cendekia hari ini. Tanpa sadar, kita lebih berambisi untuk mengejar nama besar sebagai seorang ilmuwan, dikenal oleh masyarakat luas, namun mengabaikan kesenjangan di sekitar kita.

Bagikan
Ali Romdhoni
Founder Literatur Nusantara

    SEJARAH, MODAL PERADABAN TERBAIK BANGSA TIONGKOK

    Previous article

    PERPINDAHAN IBUKOTA DALAM PERPEKTIF SEJARAH PRA KOLONIAL ABAD X-XVI

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    More in Essai