Essai

KI GEDE BANGSRI DALAM CATATAN SEJARAH DAN LEGENDA II

Arak-arakan tumpeng berbentuk Ular Lempe dan Yuyu Goto, simbol Dewi Wiji dan Suro Goto pada acara Sedekah Bumi Desa Bangsri 2024

Dikisahkan Suro Goto jatuh cinta dengan Dewi Widji, keponakannya sendiri yang merupakan putri dari saudara seperguruannya, yaitu Ki Gede Bangsri. Karena cinta yang mencengkeram sebelah tangan, Suro Goto membuat siasat mendatangi Dewi Widji ketika ayahandanya sedang menghadap Sang Guru Sunan Muria. Karena ketakutan, Dewi widji melarikan diri meminta perlindungan kepada Ki Wedel. Karena melindungi Dewi Widji, akhirnya Ki Wedel dibunuh Soro Goto, begitu juga secara berurutan, Ki Banjar, Nyai Kembang dan Ki Jenggot. Setiap orang yang melindungi Dewi Widji langsung dibunuh oleh Suro Goto. Suro Goto berani melakukannya karena ia telah mencuri keris Guling Muria dari Padepokan Sunan Muria di Puncak Gunung Muria, sehingga tidak ada yang mampu mengalahkannya.

Akhirnya Sunan Muria mengutus muridnya dari Tiongkok, Sam Po Kong untuk menyamar sebagai penjual dawet. Dalam pencarian Dewi Widji, Suro Goto kehausan dan bertemu dengan penjual Dawet yang tidak lain adalah Sam Po Kong, utusan Sunan Muria. Setelah meminum Dawet beracun dari Sam Po Kong, Suro Goto berubah menjadi Yuyu Goto dan mengamuk, banyak masyarakat yang tidak bersalah menjadi korban.

Tidak ada yang mampu menghalangi Yuyu Goto. Yuyu Goto mau berhenti hanya jika buah hatinya, Dewi Widji, mau mendampinginya selamanya. Syarat itu disanggupi Dewi Widji, iapun menceburkan diri ke laut dan berubah wujud menjadi Ular Lempe. Kepercayaan masyarakat sampai hari ini, jika seseorang tergigit ular Lempe maka obatnya adalah Yuyu Goto dan sebaliknya, jika tergigit atau terkena racun Yuyu Goto, maka obatnya adalah Ular Lempe.

Kisah di atas merupakan legenda atau folklor (kearifan lokal) masyarakat Bangsri yang mengabadikan nama dan kisah kehidupan Ki Gede Bangsri. Kisah ini menjadi identitas kolektif masyarakat Bangsri dan diwariskan secara turun-temurun. Ki Gede Bangsri sebagai cerita legenda menjadi bagian penting dari keberadaan budaya kawasan Bangsri dan masyarakatnya.

Ki Gede Bangsri tidak hanya diabadikan secara lisan dan turun temurun tetapi juga telah diangkat menjadi lakon ketoprak yang dari legenda ini Ki Gede Bangsri menjadi lebih masyhur dan juga mengakar di masyarakatnya. Kisah “Laskar Tanggul Wali” menceritakan awal Ki Gede Bangsri di tutus oleh Kesultanan Demak Bintoro untuk mengamankan wilayah Bangsri, dan “Geger Bangsri” mengisahkan peristiwa Suro Goto jatuh cinta kepada Dewi Wiji.

Ki Gede Bangsri selalu hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Bangsri dan sekitarnya. Ia hidup melalui cerita-cerita legenda semisal legenda Dewi Wiji dan Suro Goto sebagaimana penulis ceritakan di awal tulisan ini. Diabadikannya seorang tokoh melalui legenda, maka akan membawa dampak bagi sang tokoh tersebut, tidak kecuali Ki Gede Bangsri. Menurut penulis, legenda bisa menimbulkan empat hal jika dikaitkan dengan perkembangan sejarah suatu masyarakat atau tokoh yang dikisahnya.

 

Yang pertama, legenda akan memunculkan tokoh fiktif, artinya tokoh yang tidak ada (fiktif) dalam sejarah bisa menjadi ada atau dimunculkan oleh legenda yang berkembang di masyarakat secara turun temurun.

Yang kedua, legenda bisa meniadakan, menghilangkan atau memitoskan tokoh-tokoh sejarah yang ada menjadi absurd. Dalam hal ini seorang tokoh sejarah bisa menjadi absurd bahkan hilang dan tidak dipercayai keberadaannya karena adanya legenda-legenda yang berlebihan dan tidak masuk akal.

Yang ketiga, legenda akan mengakibatkan tokoh sejarah, menjadi manusia luar biasa yang memiliki kekhususan seperti dewa, artinya dari legenda menjadi mitologis. Dalam hal ini, seorang tokoh sejarah yang hidup nyata di masyarakat dan berjuang, diceritakan secara tutur dan turun-temurun selama berabad-abad. Tokoh ini dicintai oleh masyarakatnya berlebihan, sehingga yang sejak awal sebagai manusia sejarah berubah menjadi manusia mitologis, artinya tokoh sejarah tersebut menjadi sosok dewa yang dipuja secara berlebihan.

Yang keempat, adanya akibat dari legenda ini adalah mengkerdilkan tokoh besar dalam sejarah, artinya seorang tokoh sejarah atau manusia sejarah yang memiliki peran besar dalam satu negara, kerajaan atau kawasan, menjadi kerdil dan kecil karena dituturkan secara turun-temurun dengan perspektif penutur yang mana mereka hidup pada lingkungan masyarakat yang semakin menyempit. Menyempit artinya adalah pemikirannya yang menyempit dan juga bisa teritorialnya yang menyempit.

Ki Gede Bangsri adalah termasuk tokoh yang dilegendakan dan mengalami destruksi atau perubahan kurang baik. Ki Gede Bangsri, hidup sebagai manusia atau tokoh masyarakat yang memiliki peran besar pada Kerajaan Demak, khususnya di wilayah utara Lereng Muria, menjadi tokoh kecil yang hanya berperan sebagai kepala rumah tangga atau tokoh pemimpin masyarakat lokal yang sangat terbatas. Apalagi jika menggunakan perspektif teritorial modern saat ini yang mana Bangsri hanya terbatas sebagai kawasan teritorial desa yang sempit. Ki Gede Bangsri hanya dipahami sebagai tokoh Desa Bangsri yang memiliki sahabat Ki Wedel di desa Wedelan, Ki Banjar di desa Banjaran, Nyai Kembang di desa kembang, Ki jenggot di desa Jenggotan. Setidaknya terdapat 5 hal yang membuktikan bahwa Ki Gede Bangsri adalah manusia sejarah sekaligus tokoh besar di masa lalu, yaitu ;

1). Ki Gede Bangsri dengan akar kata nama Bangsri, menjadi nama di banyak tempat di pulau Jawa, hal ini membuktikan bahwa Ki Gede Bangsri adalah tokoh besar pada masanya.

2). Ki Gede Bangsri adalah menantu Ki Ageng Selo, hal ini berdasarkan pada Babad Tanah Jawi yang dinukil oleh De Graaf, di mana Ki Ageng Selo memiliki 7 orang anak, yang enam perempuan dan satu laki-laki, yaitu Ki ageng Ngenis yang akan menurunkan raja-raja Mataram. Salah satu dari keenam Putri tersebut bernama Nyai Ageng Bangsri. Babad Tanah Jawi menyebutkan Ki Ageng Selo adalah keturunan raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng menikah dengan Dewi Nawangsih, Putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendowo. Dari Ki Ageng Getas Pandawa lahirlah Bagus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Selo dalam berkeluarga memiliki 7 orang anak yang mana 6 perempuan dan satu laki-laki. Ketujuh anak tersebut adalah ; 1). Nyai Ageng Lurung Tengah, 2). Nyai Ageng Saba 3). Nyai Ageng Bangsri 4). Nyai Ageng Jati 5). Nyai Ageng Patanen 6). Nyai Ageng Pakis Dadu dan yang ketujuh Kyai Ageng Ngenis.

3). Ki Gede Bangsri adalah murid Syekh Siti Jenar, tercatat di Babad Joko Tingkir atau Babad Pajang. Syekh Siti Jenar memiliki 40 murid Kinasih yang diantaranya adalah Ki Gede Bangsri Panengah.

Konon selain Kyai Ageng Pengging, sahabat-sahabat beliau sejumlah 40 orang ikut berguru pula pada Waliyullah Sitijenar. Mereka adalah Ki Gede Banyubiru, Ki Gede Getasaji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Ngerang, Ki Gede Jati, Ki Gede Tingkir, Ki Gede Petalunan, Ki Gede Pringapus, Ki Gede Nganggas, Ki Gede Wanalapa, Ki Gede Paladadi, Ki Gede Ngambat, Ki Gede Karangwaru, Ki Gede Babadan, Ki Gede Wanantara, Ki Gede Majasta, Ki Gede Tambakbaya, Ki Gede Bakilan, Ki Gede Tembalang, Ki Gede Karanggayam, Ki Gede Selandaka, Ki Gede Purwasada, Ki Gede kebokangan, Ki Gede Kenalas, Ki Gede Waturante, Ki Gede Taruntum, Ki Gede Pataruman, Ki Gede Banyuwangi, Ki Gede Puma, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi digunung Pragota, Ki Gede Adibaya, Ki Gede Karurungan, Ki Gede Jatingalih, Ki Gede Wanadadi, Ki Gede Tambangan, Ki Gede Ngampuhan, Ki Gede Bangsri Panengah. Empat puluh sahabat seilmu dan seperguruan tadi, mengaku saudara dengan Kyai Ageng Pengging. Semakin kokoh dan akrab persahabatannya, antara Pengging, dan daerah-daerah yang dikuasai oleh sahabat-sahabatnya tadi. (XVII. Lagu Dandanggula, 29 bait. Baris 1 dari bait ke-1, dan baris 1 dan akhir dari bait ke-29. Baris 1 dari bait ke-1 ; Raden Trenggana jumeneng aji, Baris 1 bait ke-29 dan baris akhir ; Lampahira Kyaigeng Pengging, Mangkat ungkur-ungkuran

4). Terdapat Topomini atau nama-nama tempat di sekitar Bangsri yang berkaitan dengan kisah Ki Gede Bangsri, diantaranya adalah Ki Wedel yang menjadi asal usul nama Desa Wedelan, Ki Banjar yang menjadi asal usul nama Desa Banjaran, Nyai Kembang yang menjadi asal usul nama Desa Kembang, Ki Jenggot yang menjadi asal usul nama Desa Jenggotan, dan Desa Papasan sebagai tempat pertemuan para murid Sunan Muria ketika hendak sowan ke Gunung Muria.

5). Ki Gede Bangsri hidup pada masa kerajaan Demak Bintoro, hal ini bisa dibaca dari tokoh-tokoh sejarah yang hidup pada masa Demak dan berhubungan dengan Ki Gede Bangsri. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Sunan Muria, Nyai Ageng Bangsri yang merupakan putri dari Ki Ageng Selo dan syekh Siti Jenar sebagai guru spiritualnya.

Demak adalah negeri maritim besar di nusantara pada abad ke-14 dan 15 yang meneruskan peradaban Majapahit sebelumnya. Ki Gede Bangsri, dalam hal ini adalah salah satu tokoh yang diasuh langsung oleh Syeikh Siti Jenar dan memiliki nama Ki Gede Bangsri Panengah sebagaimana dicatat di Babad Pajang. Ki Gede Bangsri ditugaskan oleh kesultanan Demak Bintoro di kawasan Tengah antara Jepara atau Keraton Kalinyamatan dengan Keling atau Donorojo. Kawasan tengahnya adalah kawasan Bangsri saat ini, sehingga Ki Gede Bangsri Panengah memiliki peran penting sebagai penjaga keamanan wilayah tengah antara dua wilayah, yaitu wilayah selatan (Kota Jepara dan Kalinyamatan) dan utara gunung Muria (Keling dan Donorojo). Wallahu A’lam.

Bagikan
Literatur Nusantara
Ilmu Pengetahuan Untuk Indonesia Jaya

    KI GEDE BANGSRI DALAM CATATAN SEJARAH DAN LEGENDA

    Previous article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    More in Essai